Peta menunjukkan penyebaran yang luas dari agama “Abrahamik” (ungu) dan “Dharmik” (kuning) di masing-masing negara.

Dalam ilmu perbandingan agama, agama Abrahamik — yang sering pula disebut sebagai agama samawi — adalah setiap agama yang muncul dari suatu tradisi Semit kuno bersama dan yang ditelusuri oleh para pemeluknya kepada Abraham atau Ibrahim (“Bapak/Pemimpin banyak orang” Bahasa Ibrani אַבְרָהָם (“Avraham”) Bahasa Arab ابراهيم (“Ibrahim”), seorang leluhur yang kisah hidupnya diceritakan di dalam Alkitab Ibrani/Perjanjian Lama, dan sebagai seorang nabi di dalam Al Qur’an dan juga disebut nabi dalam Kitab Kejadian 20:7.

Agama ini merupakan kelompok besar dari agama-agama monoteistik, termasuk Yudaisme, Kristen, Islam, Druze, Ahmadiyah, Bahá’í, Mormonisme dan mungkin termasuk pula Sikh. Agama-agama Abrahamik mewakili lebih dari setengah dari seluruh pemeluk agama di dunia. Namun demikian, banyak dari para pemeluk agama ini yang menolak pengelompokan agama atau kepercayaan mereka seperti ini dengan alasan bahwa agama mereka pada intinya dan dasarnya mengandung gagasan-gagasan yang berbeda atau bahkan berlawanan dengan gagasan-gagasan agama yang lainnya mengenai Abraham dan Tuhan atau Allah.

Menurut tradisi Yahudi, Abraham adalah orang pertama dari masa pasca air bah yang menolak penyembahan berhala melalui analisis yang rasional (Sem dan Eber melanjutkan tradisi dari Nuh), dan karena itu ia secara simbolis muncul sebagai tokoh fundamental untuk agama monoteistik. Dalam pengertian ini, agama Abrahamik dapat disebut secara sederhana sebagai agama monoteistik, tetapi tidak semua agama monoteistik tergolong agama Abrahamik. Dalam Islam ia dianggap sebagai pemeluk monoteis yang pertama di dunia, ketika monoteisme telah lenyap (Abraham adalah nabi yang berada dalam rangkaian nabi-nabi, mulai dari Adam) dan karenanya sering dirujuk sebagai Ibrahim al-Hanif atau Abraham sang Monoteis.

Istilah monoteisme padang pasir kadang-kadang digunakan untuk maksud perbandingan serupa dalam konteks historis, tetapi bukan untuk agama-agama modern, dan sekarang istilah ini dianggap menghina.

Saat ini di dunia diperkirakan ada sekitar 3,7 milyar orang pemeluk agama Abrahamik.

Agama samawi atau disebut juga agama langit, adalah agama yang dipercaya oleh para pengikutnya dibangun berdasarkan wahyu Allah.

Beberapa pendapat menyimpulkan bahwa suatu agama disebut agama Samawi jika:

* Mempunyai definisi Tuhan yang jelas
* Mempunyai penyampai risalah (Nabi/Rasul)
* Mempunyai kumpulan wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam Kitab Suci

Di dunia ini agama-agama besar yang dianggap agama samawi diantaranya Yahudi, Kristen, Islam. Kebalikan dari agama samawi adalah Agama Ardhi.

Di dalam Torah dan Al Qur’an, Abraham digambarkan sebagai seorang leluhur yang diberkati oleh Allah (orang-orang Yahudi menyebutnya “Bapa kami Abraham”), dan dijanjikan banyak hal yang besar. Orang Yahudi, Kristen, dan Islam menganggapnya sebagai bapak bangsa Israel melalui anaknya Ishak; Orang Muslim juga menganggapnya sebagai bapak bangsa Arab melalui anaknya Ismail. Dalam keyakinan Kristen, Abraham adalah teladan bagi iman, dan niatnya untuk taat kepada Allah dengan mempersembahkan Ishak dipandang sebagai pendahulu atau baying-bayang dari persembahan oleh Allah sendiri atas Anak-Nya, Yesus. Dalam Islam, yang meyakini bahwa Ismail dan bukan Ishak yang dipersembahkan, Ibrahim taat kepada Allah dengan mempersembahkan Ismail dan dianggap sebagai salah satu nabi terpenting yang diutus oleh Allah. Dalam Al-Qur’an, Ibrahim disebutkan bukan penganut Yudaisme dan bukan pula seorang penganut Nasrani, tetapi dia memiliki kepercayaan terhadap Allah yang disebut Millah Ibrahim. Dalam Al-Qur’an, disebutkan Nabi Ibrahim memiliki lembaran-lembaran suci tetapi tidak disebut sebagai Kitab Suci.

Semua agama Abrahamik berkaitan (atau bahkan berasal dari) Yudaisme sebagaimana yang dipraktikkan di kerajaan Israel dan Yehuda kuno sebelum pembuangan ke Babel, pada awal milennium pertama SM. Banyak orang percaya bahwa Yudaisme di Israel kuno pada zaman Alkitab diperbarui pada abad ke-6 SM oleh Ezra dan oleh para imam lainnya yang kembali ke Israel dari pembuangan.

Meskipun menerima orang-orang yang pindah menjadi pemeluknya, Yudaisme tidak menganjurkannya, dan karena itu tidak mempunyai misionaris. Yudaisme menyatakan bahwa orang-orang non-Yahudi dapat hidup benar dengan mengikuti Hukum Nuh, yaitu tujuh perintah universal yang diharapkan diikuti oleh orang-orang non-Yahudi. Dalam konteks ini Rambam (Rabi Moses Maimonides, salah seorang guru Yahudi penting) berkomentar, “Mengutip dari para bijak kita, orang-orang yang benar dari bangsa-bangsa lain mempunyai tempat di dunia yang akan datang, bila mereka telah menemukan apa yang seharusnya mereka pelajari tentang Sang Pencipta.” Karena perintah-perintah yang dapat diterapkan kepada orang-orang Yahudi jauh lebih terinci dan berat daripada hokum-hukum Nuh, para sarjana Yahudi biasanya mengatakan bahwa lebih baik menjadi seorang non-Yahudi yang baik daripada seorang Yahudi yang tidak baik, karenanya mereka tidak menganjurkan perpindahan agama. Yang umumnya terjadi, orang-orang yang berpindah ke Yudaisme adalah mereka yang menikah dengan orang Yahudi; di Amerika Serikat, jumlah orang-orang ini diperkirakan mencapai 10.000-15.000 setiap tahunnya. Lihat pula Perpindahan ke Yudaisme.

Agama Baha’i memberikan tekanan khusus untuk tidak melakukan proselitisme. Malah hal ini dilarang. Orang-orang Baha’i memang menerima orang-orang yang pindah dari latar belakang segala agama dan etnis dan secara aktif mendukung orang-orang yang secara pribadi melakukan penelaahan tentang kepercayaan ini. Umat Baha’i mempunyai “perintis-perintis” dan “guru-guru keliling” khusus yang pindah ke wilayah-wilayah yang komunitas Baha’inya kecil untuk menolong memperkuat dan memperluasnya.. Para pemeluk agama lain sangat dihormati dan dalam banyak hal dipandang sebagai orang-orang yang secara spiritual atau rohani sejajar. Sementara umat Baha’is memandang hukum-hukum dan wahyu Baha’i unik, mereka tidak menghalangi para pemeluk agama lain dalam upaya spiritual mereka. Mereka juga menjadi pemimpin dalam berbagai upaya antar-iman.

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata : “ Dan saya mohon juga dari keturunanku”. Allah berfirman : “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.(Al Qur’an Surah 2:124)

Sumber : Wikipedia

Kita perlu sadar bahwa ketiga agama Semitik/Samawi menyembah El/Allah yang sama yang disembah Abraham/Ibrahim yang sama pula. Yang membedakan adalah pengajaran/aqidah mengenai Allah yang sama itu berbeda. Agama Yahudi mempercayai Allah Abraham yang memberikan perjanjian melalui Abraham, Ishak dan Yakub (sesuai kitab suci Tenakh/Perjanjian Lama). Agama Kristen mempercayai hal itu namun juga penggenapannya dalam Tuhan Yesus Kristus (Perjanjian Lama & Baru), ini diragukan keotentikannya oleh agama Yahudi. Agama Islam secara implisit beriman pada kitab-kitab Yahudi & Kristen (QS 2:136) namun secara eksplisit meragukan keotentikannya, dan beriman pada Allah Ibrahim namun juga wahyu yang dipercayai diterima oleh Nabi Muhammad. Wahyu ini diragukan keontentikannya oleh agama Yahudi maupun Kristen.

Memang benar bahwa nama ‘Allah’ pada masa jahiliah pernah merosot ditujukan kepada dewa berhala kafir, namun Islam ingin mengembalikan pengertian itu pada ‘Allah’ kaum Hanif yang menganut ajaran Ibrahim. Demikian juga dalam sejarah Yahudi, nama ‘Elohim’ dan ‘Yahweh’ juga pernah merosot ditujukan kepada berhala Anak Lembu (Keluaran 32:1-6 & 1Raja 12:2Cool namun Musa ingin mengembalikan pengertian itu kembali kepada ‘Yahweh, Elohim Israel.’ (Keluaran 32:26-27).

Perlu disadari bahwa bahasa Arab sebagai salah satu dialek Semitik, dan nama Allah dalam bahasa Arab terutama lisan sebelum ada budaya tulis, sudah lama ada sebelum agama Islam hadir, maka sekalipun Islam sekarang menjadi agama mayoritas yang dianut orang Arab, tentu tidak bisa mengklaim bahwa nama itu adalah nama eksklusif milik agama tertentu, padahal nabi Muhammad dalam Al-Quran dan orang Arab sendiri mengakuinya sebagai milik bersama para penganut agama Semitik/Samawi (yang notabena diturunkan dari bahasa Semitik dan Aram itu).

Nama Allah dalam bahasa Arab sudah masuk menjadi kosakata bahasa Indonesia, dan Alkitab bahasa Indonesia sudah menggunakan nama itu seperti saudara/i Kristen di tanah Arab selama 4 abad dan tidak ada masalah selama itu dan andaikan ada konflik antar agama isu nama Allah tidak pernah menjadi penyebab. Karena itu kalau sekarang timbul anggapan bahwa masalah nama sesembahan itu dijadikan isu seakan-akan mengganggu kerukunan beragama, tentu patut disayangkan sebab di Malaysia sendiri sudah tidak dipermasalahkan lagi, bahkan di negara-negara berbahasa Arab sendiri tidak pernah dipersoalkan. Baru ketika kelompok Kristen yang terpengaruh Yudaisme dan yang kurang mengerti sejarah Arab dan bahasanya mempersoalkannya isu ini naik kepermukaan.

Sekalipun berbeda dalam ajaran/aqidah, kesamaan Allah semitik/samawi yang disembah ketiga agama semitik/samawi itu seharusnya bisa menjadi perekat kesatuan bangsa Indonesia yang selama ini berdampingan secara damai. Seharusnya kita sadar bahwa gerakan fanatisme Yudaisme melalui orang-orang tertentu yang mau meresahkan hubungan dengan disatu sisi meremehkan sesembahan tertentu dan disisi lain menyalahkan penganut tertentu, bisa kita hadapi dengan hati-hati dan panjang hati. Dengan demikian kerukunan beragama menjadi nyata dan kesatuan bangsa Indonesia tercapai tanpa kita harus menghilangkan identitas pengajaran/aqidah agama masing-masing.

Sehubungan dengan artikel ‘Satu Allah Tiga Agama’ dan sebagai kelanjutan Diskusi-diskusi sebelumnya mengenai judul ‘Satu Allah’, berikut ada diskusi tentang tanggapan seorang dosen Kimia dari Yogyakarta.

(Tanggapan-1) Bukankah terlalu gegabah jika berkesimpulan bahwa umat Yahudi dan Yesus menggunakan Septuaginta. PL Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi Septuaginta (LXX) di lakukan di Aleksandria suatu kota di Mesir di mana terdapat perkampungan Yahudi yang memang lebih fasih berbahasa Yunani, dan untuk keperluan mereka inilah terjemahan dilakukan (baca Atlas Alkitab). Jelas bahwa Septuaginta bukanlah konsumsi masyarakat Yahudi di Israel pada umumnya. Dugaan bahwa umat Yahudi dan Yesus menggunakan septuaginta disebabkan oleh pandangan bahwa (1) PB Yunani merupakan satu-satunya sumber otentik untuk PB, bahkan (2) percakapan Yesus berlangsung dengan bahasa Yunani; peninggalan Dead Sea Scroll, Coin, Surat Ba-Kobha, Kesaksian Sejahrawan Yosephus membuktikan bahwa pada zaman Yesus bahasa Ibrani merupakan bahasa popular. Tambahan pula Septuaginta sebelum tahun 200-an, nama YHWH tidak diterjemahkan melainkan muncul dalam huruf Paleo-Hebrew. Baru setelahnya YHWH diterjemahkan Kurios. Peristiwa Pentakosta disampaikan oleh rasul Yahudi (Petrus) pastilah dalam bahasa Ibrani, namun terdengar secara ajaib menurut bahasanya masing-masing pendengar!

(Jawab-1) Perlu disadari bahwa bahasa Yunani sudah dibudayakan dengan gencar sejak abad-4 sM ketika Alexander menguasai daerah yang luas di Timur Tengah, dari Yunani di Eropah sampai Mesir dan memasuki India di Timur. Dan setelah Alexander maka wangsa Yunani Ptolomeus di Mesir dan Seleuceus di Syria melanjutkan peng’yunanian’ itu dimana Palestina terjepit di antaranya. Bahasa Yunani sudah menjadi bahasa rakyat bersama bahasa Aram sebagai bahasa ibu selama berabad-abad dan sekalipun sejak abad-1sM Romawi berkuasa, bahasa Yunani tetap menjadi bahasa umum (koine) sampai dilibas bahasa Arab setelah Islam lahir. Sekalipun kita menjunjung tinggi bahasa Ibrani, kita perlu terbuka akan fakta bahwa bahasa Ibrani sudah mati sebagai bahasa percakapan jauh sampai ke masa Ezra dan hanya dijadikan bahasa tulisan kitab suci agama. Perlu disadari bahwa Yesus, Para Rasul dan Sinagoga umumnya menggunakan Septuaginta karena naskah itulah yang komunikatip dan ketika Yesus membaca kitab suci di sinagoga (Luk.4) Ia membaca naskah Septuaginta. 80% kutipan PL dalam PB dikutip dari Septuaginta, sisanya dari fragmen lain. Kalau dalam Alkitab disebut ‘bahasa Ibrani’ itu bahasa aslinya ‘hebraisti’ (lidah Ibrani) atau ‘hebraidi dialekto’ (dialek Ibrani) yang maksudnya bahasa Aram. Yosephus sendiri menulis karyanya ‘Perang Yahudi’ dalam bahasa Aram (hebraisti). Petrus di hari Pentakosta kemungkinan besar berkotbah dalam bahasa campuran Aram dan Yunani karena keduanya dikenal umum kecuali orang-orang asing yang hadir, yang jelas ia tidak berbicara bahasa Ibrani yang saat itu tidak digunakan dalam percakapan dan hanya terdiri dari konsonan itu dan sudah tidak dikenal umum sejak zaman Ezra (Neh.8:9).

Gambar-gambar bukti mengenai Septuaginta yang menulis tetragramaton dalam bahasa Ibrani biasanya dikutip dari literatur Saksi-Saksi Yehuwa (a.l. brosur ‘NAMA ILAHI Yang Akan Kekal Selama-lamanya’ dan ‘Kitab-Kitab Yunani Kristen Terjemahan Dunia Baru’). Kalau kita mengamati dengan teliti, kita dapat melihat bahwa kata ‘tetragramaton’ disitu dicanggokan ke dalam kalimat oleh pemuja nama Yahweh, karena terlihat jelas perbedaan besaran font, kepekatan tinta, gaya tulisan dibandingkan kalimatnya. Perlu diingat bahwa bahasa Yunani ditulis dari kiri ke kanan dan bahasa Ibrani dari kanan ke kiri. Kalau penulis Septuaginta mau menulis tetragramaton, tentunya bukan HeWahHeYod (dengan huruf Ibrani dari kiri ke kanan), melainkan ‘Iaoue’ dengan huruf Yunani. Kata Ibrani Heleluyah (Mzm.111:1) yang masih dipertahankan dalam Septuaginta tidak ditulis ‘AlleluHeYod’ melainkan ‘Alleluea.’

—–

(T-2) Apa maksudnya pernyataan ‘kelompok Pemuja Nama Yahweh memaksakan kehendak’? Fatwa mati jelas melanggar HAM. Cara-cara kelompok”mapan” menanggapi “perubahan-perbedaan” dengan menganggap fanatisme sempit sesungguhnya mirip dengan sikap Gereja Katolik ketika menghadapi Martin Luther dengan sekitar 300 thesisnya yang ditempel-tempelkan di dinding-dinding Gereja sebagai protes ketidak-setujuannya yang kemudian mengganggapnya sebagai anti-christ bagi para Lutheran.

(J-2) ‘Memaksakan Kehendak’ bisa dilihat dari fakta ucapan menghakimi yang biasa keluar dari pemuja nama Yahweh, memaksakan tafsiran sendiri yang masih mentah, memaksa LAI untuk mengganti semua nama ‘Allah’ dan ‘TUHAN’ dari Alkitab, dan ketika ditolak karena kurang kuat dasarnya, menjiplak begitu saja karya LAI dan memaksa mengganti semua kata ‘Allah’ dan ‘TUHAN’ tanpa izin. Soal ‘fatwa mati’ memang tidak dibenarkan namun melihat peristiwanya bisa dimaklumi karena ucapan-ucapan Suradi dalam kaset dan tulisannya memang sarkastis sekali dan memaksakan diri. Umat Kristen tidak keberatan kalau digunakan nama ‘Yahweh’ tetapi jangan dengan memaksa orang lain untuk menggantinya. Adalah terhormat kalau pemuja nama ‘Yahweh’ (yang sering menyatakan diri sebagai ahli bahasa Ibrani dan Yunani) menerjemahkan sendiri naskah Alkitab dari bahasa aslinya daripada memaksa terjemahan orang lain dan mengganti sendiri. Soal Martin Luther, coba belajar lagi, karena jumlah thesis Martin Luther Cuma ‘95′ bukan ‘300.’

—–

(T-3) Ditinjau dari kronologi yang tercatat Alkitab berikut: YHWH disebut namaNya sejak pada zaman Enos (Kej. 4:26), Leluhur bs Israel berkomunikasi dengan Elohim dengan melibatkan nama YHWH. Nuh berkomunikasi dengan YHWH dan mebangun mezbah YHWH (Kej.8:20), dan memuji YHWH (Kej 9:26). Abraham juga berkomunikasi dengan YHWH, dan mendirikan mezbah YHWH (Kej. 12:7) dan kemudian memanggil namaNya (ay8). Abraham bersumpah demi YHWH, Elohim yang Maha Tinggi, Pencipta langit dan bumi (Kej 14:22). Abraham menjawab, “Ya Adonai YHWH, ….” (Kej. 15:2, Cool Yakub bertempur melawan YHWH dan kemudian mendirikan Betel (Kej.28:19-22). Jadi aneh jika Yahweh dianggap sebagai Tuhannya khas orang Israel. Yahweh memang kemudian diakui secara nasional sebagai Nama Tuhan mereka mulai eksodus. (Barangkali justru betul jika Allah itu apa Tuhannya bs Arab?). Sebutan Elohim mendominasi Kej.1, YHWH-Elohim (tepatnya Elohim YHWH) secara bersamaan (20 kali) mendominasi Kej 2 -3; Selanjutnya Kej. 4 – Maleakkhi, nama YHWH (totalnya sekitar 68000 kali) jauh mendominasi ketimbang sebutan El, Elowah, Elohim (total ketiganya kurang dari 3000 kali).

(J-3) Perlu disadari bahwa Kitab Pentateuch ditulis Musa setelah ia diperkenalkan dengan nama ‘Yahweh.’ Bila kita mempelajari sifat-sifat Tuhan ‘El’ dan ‘Yahweh’, sekalipun keduanya memiliki teologi sama, dapat dilihat bahwa ada sifat baru yang ditunjukkan nama ‘Yahweh,’ yaitu sebagai Tuhan yang menyelamatkan/membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir yang dikenal dimasa Keluaran, ini menunjukkan bahwa nama itu baru dikenal bangsa Israel melalui Musa. Tuhan ‘Yahweh’ adalah khas Israel, Tuhan yang dinamis, yang memberikan keteguhan iman bagi Israel dan yang menyatukan mereka menghadapi penindasan perbudakan di Mesir. Tuhan yang menyatakan diri dengan nama baru khas padang gurun ‘Sinai’ itu bisa kita lihat petunjuknya di banyak kitab lain dalam Tenakh yang tidak bergantung satu dengan lainnya (a.l. Hos.2;13:4; Yes.43:3; Yer.2:1 dst; Yeh.20; Am.2:10 dst; 5:25; dan yang juga dinyatakan penyair kuno Israel yang menyanyikan nyanyian kemenangan seperti nyanyian Debora (Hak.5) dan Mzm.68:8 dst.).

Dalam proses penulisan dan penyalinan ada intervensi teologis kaum Yahwis untuk memasukkan nama yang baru dikenal itu dalam sumber kitab Kejadian, dimana kemudian nama ‘Yahweh’ tidak sekedar disebut secara eksklusif sebagai ‘Tuhan Israel’ tetapi diperpanjang sampai ke ayat Kejadian dan disebut bahwa “Waktu itulah orang mulai memanggil nama TUHAN” (Kej.4:26. Enos artinya manusia) untuk menunjukkan bahwa Yahweh juga Tuhan umat manusia. Bahkan keberadaan nama ‘Yahweh’ itu kemudian dikaitkan dengan “Penciptaan langit dan bumi” (Kej.2:4-7), dan kemudian menghiasi banyak halaman kitab Kejadian.

“Yahwis mempunyai pandangan lain. Menurutnya, Yahweh adalah Allah seluruh umat manusia sejak awal kejadian dunia, dan ‘ibadat kepada Yahweh’ didirikan oleh Enos, sebagai wakil umat manusia pada zaman awal sekali (Kej.4:26). Pandangan yang demikian tidak sesuai dengan kepercayaan bahwa Yahweh baru bertemu dengan israel di padang gurun. Tampaknya, pandangan Yahwis itu merupakan pandangan teologis dan bukan ingatan historis. Pandangan teologis ini sesuai dengan cara pemikirannya, yaitu bahwa penyataan yahweh bersifat universal dan berlaku untuk seluruh dunia.” (Th. C. Vriezen, Agama Israel Kuno, h.125).

Petunjuk lain bahwa Tuhan dengan nama ‘Yahweh’ belum dikenal di kitab Kejadian bisa dilihat dari fakta bahwa selama berada di Kanaan, para leluhur dengan Tuhan mereka yang bernama ‘El’ rukun-rukun saja berdampingan dengan ilah-ilah Kanani (Baal), padahal sesudah Keluaran generasi Israel secara tegas dengan pimpinan Tuhan ‘Yahweh’ membumi-hanguskan orang-orang Kanani tanpa ampun. Bahwa Abraham juga belum mengenal nama ‘Yahweh’ bisa dilihat dari fakta bahwa ia memberi nama kepada anaknya dengan nama ‘El’ bukan ‘Yah’, Ismael (El telah melihat. Kej.16:11) mengandung nama ‘El.’ Absennya nama yang mengandung nama ‘Yah’ dalam kitab Kejadian (Abi’yah’, Eli’yah’, Yesa’yah’), tetapi hanya nama-nama yang mengandung nama ‘El’ seperti a.l. Bab ‘El’ (gerbang El), Mehuya’el’ & Metusa’el’ (Kej.4:1Cool, dan Isra’el’ (El yang bergumul. Kej.32:2Cool, menunjukkan bahwa di masa kitab Kejadian kenyataannya hanya dikenal ‘El elohe Yisrael’ (Kej.33:20) dan Ialah ‘El Beth ‘El” (Kej.35:7). Yahweh adalah El yang kasih dan adil, tetapi rupanya fanatisme Yahwis menjadikan mereka militan.

—–

(T-4) Mengapa pengenalan nama Yahweh atau paling tidak Elohim dari Abraham-Hagar-Ismail tidak bisa berlanjut pada bangsa Arab yang bahkan menetapkan “Allah” sebagai ganti nama”ilah” (Tuhan); cukup aneh bs Arab tidak mengenal nama Yahweh.

(J-4) Ujian iman Abraham (yang dirayakan Islam sebagai ‘Idul Adha’) dan bahwa nama ‘Yahweh’ tidak dikenal dalam jalur bangsa Arab keturunan ‘Ismael’ menunjukkan bukti tambahan bahwa memang nama ‘Yahweh’ belum dikenal Abraham, bahkan Hagar menamai Tuhannya ‘El Roi’ (El yang melihat), dan anaknya tidak diberi nama Isma’yah’ oleh Abraham melainkan Isma’el’. Ini memperkuat bukti bahwa nama ‘Yahweh’ belum dikenal pada saat Abraham dan baru sesudah Musa keturunan Ishak-Yakub-lah nama ‘Yahweh’ dikenal dalam jalur bangsa Israel. Kenyataan ini menunjukkan indikasi bahwa nama Tuhan semula adalah ‘El’ (Allah dalam dialek Arab) dan baru dalam masa Keluaran dinyatakan nama kedua ‘Yahweh,’ namun sekalipun demikian nama ‘El’ masih terus digunakan sebagai sinonim Yahweh sesudah Keluaran (Bil.23:4,8,19,22-23;Mzm.85:8-9;Yes.42:5). Demi menguduskan nama Yahweh, Yahweh sering digantikan nama ‘Adonai’ yang bisa berarti ‘Yahweh’, ‘Tuhan’ atau ‘Tuan.’ Yesus diberi dua nama yang mengandung kedua nama itu, yaitu ‘Imanuel’ (El menyertai kita. Mat.1:23) dan ‘Yesus’ (Yahweh adalah keselamatan. Mat.1:21).

—–

(T-5) Mengapa LAI menerjemahkan Hebrew-OT dan Greek-NT lebih mengacu pada pemakaian vocabulary Arab ketimbang Ibrani. Jika memang “Allah” (Arab) itu mempunyai equal meaning dengan Elohim (El, Eloah) kenapa tidak dibiarkan begitu saja yakni tetap Elohim? Rasanya setiap insan yang mengaku muslim di seluruh dunia ini pasti mengenal “Allah”sebagai “Allah” yang tidak akan diterjemahkan.

(J-5) Perlu disadari bahwa penerjemahan Alkitab Indonesia tidak dimulai dari nol melainkan ada proses sejarah dibelakangnya. Sejak zaman Ezra Taurat sudah diterjemahkan dan pada abad-3sM Tenakh diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (Spetuaginta) oleh para utusan imam besar Eliezer di Yerusalem. Tidak ada bukti Allah Bapa melarang penggunaan terjemahan nama’Nya’ bahkan Yesus dan para Rasul menggunakan terjemahan Septuaginta, dan Roh Kudus sendiri membimbing penerjemahan ‘lidah’ para Rasul ke bahasa-bahasa asing termasuk ‘Arab.’ Ketika Cornelius Ruyl (1629) pertama kali menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu dan menggunakan nama’Allah’ tentu ia tidak asal menggunakan nama itu. Sebagai orang Eropah ia sudah paham benar bahwa nama ‘Allah’ sudah digunakan orang-orang Kristen di negara-negara berbahasa Arab jauh sebelum masa Jahiliah/Islam, dan di Indonesia setidaknya Islam sudah empat abad sebelumnya menyebar di Nusantara sekaligus menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa lokal termasuk kata Allah, karena itu penerjemahan ‘Theos’ menjadi Allah justru paling tepat dibandingkan misalnya diterjemahkan dengan ‘theos,’ ‘el/elohim/eloah,’ atau ‘god’. Kita juga jangan berpandangan sempit seakan-akan orang Islam hanya menggunakan nama ‘Allah’ sebab dalam terjemahan Al-Quran dalam bahasa Eropah mereka juga menggunakan istilah ‘God,’ ‘Deux’, dll.

Umat Arab beragama Yahudi dan Kristen sudah lama menggunakan nama ‘Allah’ sebelum lahir agama Islam di abad-7. Pada abad-6 ditulis inskripsi Ummul Jimmal oleh orang kristen yang dimulai dengan kalimat ‘Allah gafran’ (Allah mengampuni), dan di tahun 1881, ditemukan inskripsi Zabad (512) yang ditulis penganut Kristen yang dimulai dengan ucapan ‘Bism al-Ilah’ (Dengan nama Allah), bahkan pada saat Konsili Efesus (431) sudah ada uskup Arab Harits yang bernama ‘Abd Allah’ (Hamba Allah). Ini menunjukkan bahwa kata ‘Allah’ dan ‘Bism al-Ilah’ bukan kata-kata Islam tetapi kata-kata bahasa Arab dan sudah digunakan oleh orang Kristen Arab lebih dahulu sebelum Islam lahir, karena itu di Alquran dan Muhammad sendiri menyebut nama ‘Allah’ dipakai bersama oleh orang ‘Yahudi, Nasrani, Kristen, dan Islam’ (QS.2:136;22:40), itulah sebabnya pula di dunia Arab sekarang sebutan Allah oleh orang Kristen dan Islam tidak menjadi masalah. Ulil Absar Abdala dalam seminarnya di LAI menyebut bahwa sekitar 70% isi Al-Quran berasal dari tradisi agama Yahudi dan Kristen (termasuk kitab sucinya).

Gejala purifikasi nama ‘Allah’ adalah gejala baru di kalangan Islam tertentu, namun gejala purifikasi nama ‘Yahweh’ memang sudah lama di kalangan pemuja nama Yahweh dan baru dalam beberapa tahun terakhir ini muncul di Indonesia.

Sumber : Di sini

Artikel Terkait : AGAMA LANGIT DAN AGAMA BUMI