Tuhan berpikir? Bukan pelecehan tuh?

Berpikir

Baru-baru ini saya menerima saran simpatik dari seorang contender saya di dunia maya agar sebaiknya saya “memikirkan apa-apa yang dipikirkan Allah”. Mendengar saran ybs saya tersentak dan berpikir:

  1. Apa relevansi manusia memikirkan apa-apa yang dipikirkan Allah? lha wong memikirkan pikiran orang-orang terdekat saja pun belum tentu bisa.
  2. Apa benar “Allah berpikir” atau “perlu berpikir” menghadapi berbagai permasalahan jagat raya, tingkah-laku manusia atau dalam rangka mewujudkan segala  sesuatu yang dikehendaki-Nya? Bukankah Allah Maha Tahu, Maha Kuasa dan baginya apapun maha mudah?

Seiring saran simpatiknya tersebut ybs juga menyampaikan kutipan Alkitab [Mat.16:21-23] yang sangat inheren dengan sebuah tulisan berjudul sama:  “Memikirkan Apa Yang Dipikirkan Allah”, sebagai pengisi laman Renungan Mingguan Blog GKI Kwitang  (http://gkikwitang.or.id/renungan-setiap-minggu/memikirkan-apa-yg-dipikirkan-allah.html).

16:21 Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem  dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat,  lalu dibunuh dan dibangkitkan  pada hari ketiga. 16:22 Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” 16:23 Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: “Enyahlah Iblis.  Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Guna menelisik apakah ide “memikirkan apa yang dipikirkan Allah” itu relevan atau justru malah “melecehkan” sifat ke Maha-an Allah, baiknya kita dalami beberapa hal berikut:

  1. Bagaimana definisi, batasan atau makna kata “berpikir” menurut kaidah universal.
  2. Apa yang dilakukan Allah sebelum mewujudkan kehendak-Nya?
  3. Bagaimana dengan rujukan yang dijadikan dasar pemikiran tersebut?
  1. Definisi Berpikir

Definisi “berfikir” yang paling umum adalah “berkembangnya ide dan konsep di dalam diri seseorang melalui proses penjalinan berbagai informasi dengan emosi dan nilai2 moral melalui kinerja otak” – Józef Maria Bocheński (1902 – 1995)

Menurut James Drever (1910-1991) “berpikir adalah aktivitas otak melatih ide-ide dengan cara yang tepat dan seksama yang dimulai dengan munculnya masalah”

Sedang Charles Sanders Peirce (1839–1914) mengatakan bahwa  “berpikir adalah kegiatan otak yang terjadi ketika muncul keraguan atau pertanyaan yang harus dijawab atau dihadapkan pada persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan”.

Peirce menambahkan bahwa dalam akivitas berpikir terjadi dinamika gerak akibat timbulnya keraguan yang mengusik (irritation of doubt) terhadap kepercayaan atau keyakinan yang selama ini dipegang, sehingga memicu ditempuhnya penyelidikan (inquiry) yang diakhiri dengan pulihnya atau bangkitnya keyakinan baru.

Mengacu pada berbagai pengertian dan batasan-batasan tentang “berpikir” sebagaimana tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah perbuatan atau proses yang bersandar pada kinerja dan fungsi otak sebagai sarana pengolah informasi, emosi, nilai2 moral dan ide-ide lainnya. Berpikir juga merupakan indikasi adanya keraguan (doubt) dan keterbatasan informasi pada individu yang melakukan aktivitas berpikir.

  1. Apa yang dilakukan Allah sebelum mewujudkan kehendak-Nya?

Mengingat Allah hadir melalui ajaran agama samawi, maka pendalaman informasi tentang Allah ini mutlak harus ditelusuri melalui Alkitab dan Al-Qur’an.

Alkitab menunjukkan bahwa metode yang digunakan Allah saat mewujudkan segala sesuatu adalah melalui kuasa Firman-Nya (Kej 1:3, 6, 9, 11, 14, 20, 24, 26 – 8 ayat). Berkali-kali dinyatakan, “Berfirmanlah Allah …” Dengan kata lain, Allah cukup atau hanya dengan bersabda untuk mewujudkan segala sesuatu, lalu terjadilah ia. Alkitab tidak sekalipun mengatakan bahwa Allah MEMIKIRKAN dulu sebelum mewujudkan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Dia cukup BERFIRMAN, maka terjadilah apapun yang dikehendaki-Nya!

Demikian pula ditegaskan dalam al-Qur’an. Dalam surat Yasin ayat 82 Allah berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” [QS 36:82] artinya: “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia“. Dalam QS 3:47 Allah juga menegaskan : “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia”.

Ayat-ayat dimaksud tidak hanya ditemui dalam surat Yasin, melainkan juga terdapat pada QS 2:117; QS 3:47; QS 3:59; QS 6:73; QS 16:40; QS 19:35; QS 36:82; dan QS 40:68 (8 ayat)

Ayat-ayat tentang mekanisme penciptaan dan pewujudan kehendak-Nya tsb (8 di Alkitab dan 8 di Al-Qur’an), adalah patokan dan rujukan sekaligus penegasan bahwa Allah Maha Kuasa, Dia menciptakan dan menetapkan segala sesuatu tanpa kesulitan; tiada apapun yang mampu menghalangi kehendak-Nya; dan segala sesuatu terwujud melalui firman-Nya: Jadilah!” maka terjadilah ia”…. Dengan kata lain ayat-ayat dalam Alkitab dan Al-Qur’an tsb adalah NORMA Allah yang sepatutnya dijadikan pegangan bahwa Allah mewujudkan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya secara serta-merta, tanpa jeda atau penundaan sedikitpun dari waktu dan esensi yang dikehendaki-Nya.

Mengacu pada berbagai batasan tentang “berpikir” dan berbagai firman Allah tentang metode penciptaan dan pewujudan kehendak Allah dalam Alkitab dan Al-Qur’an diatas, maka Allah selaku Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak tergantung pada sesuatu, tidak memiliki keraguan, dan tidak memiliki keterbatasan, MUSTAHIL memerlukan dan melakukan proses “berpikir” seperti manusia yang sarat dengan berbagai keterbatasan. Frasa yang dipikirkan Allah dalam Matius 16:23 kiranya merupakan ungkapan metafora yang lazim dipakai dalam komunikasi publik, Alkitab maupun Al-Qur’an agar lebih mudah dipahami, seperti misalnya ungkapan “Allah tersenyum”; “Allah mencari”; “Allah memanggil” dlsb, yang tentu tidak sepatutnya dimaknai secara harfiah!

  1. Bagaimana dengan rujukan yang dijadikan dasar pemikiran tersebut?

Mari kita tinjau Matius 16:22 dari perspektif berikut:

“Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.”

Kedekatan Petrus selaku salah satu MURID TERDEKAT yang selalu MELEKAT pada Yesus (Mat 17:1, 2; Mrk 9:2; Luk 9:28, 29), nampaknya membuat Petrus yakin bahwa dirinya SANGAT MENGENAL dan PAHAM pada APA YANG ADA DALAM PIKIRAN ALLAH. Keyakinan tersebut kiranya membuat Petrus “lalai” dan mudah dirasuki iblis sehingga ia lupa diri “menegor” (insult, reprimand) dan “mengoreksi” ucapan Yesus. Disitulah letak “critical point” pada siapapun yang terobsesi “menyatu” dengan Allah. Ujung-ujungnya dia mengasosiasikan dirinya dengan ALLAH. Pada titik itu pulalah Petrus kebablasan menegor Yesus dan menempatkan dirinya melampaui Tuhan dengan mengatakan: Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau!

Mendengar hal itu maka Yesus menghardik: “Enyahlah IBLIS!.  Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” 

Siapa yang Yesus hardik? Petruskah? BUKAN! Hardikan “Enyahlah IBLIS!” jelas TIDAK TERTUJU KEPADA PETRUS, melainkan benar-benar kepada IBLIS!. Demikian pula kataengkau dalam ayat tersebut murni sebagai kata ganti untuk si Iblis yg saat itu menguasai pikiran Petrus!  Jika Yesus benar mengusir Petrus, mustahil ia bertahan disamping Yesus! Yang lebih mendukung argumen ini adalah fakta bahwa 6 hari kemudian Yesus justru membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes, pergi ke sebuah gunung dimana kepada mereka diperlihatkan transfigurasi/mukjizat Tuhan!

Kasus seperti Petrus yang “dirasuki iblis” tersebut terus berulang dari waktu ke waktu, baik dalam komunitas Kristen maupun di lingkungan Islam. Lihatlah kasus-kasus Jim Jones, Mirza Ghulam Ahmad, Lia Eden dll yang mengklaim dirinya sebagai jelmaan Tuhannya.

Lalu bagaimana sebaiknya menyikapi Matius 16:22 tsb?

Matius 16:22 adalah PELAJARAN NYATA sekaligus PERINGATAN KERAS bagi siapapun agar tidak coba-coba mengasosiasikan diri sebagai Tuhan. Manusia tidak selayaknya bertindak seolah TAHU APA YANG ALLAH PIKIR dan APA YANG AKAN ALLAH PERBUAT karena hal semacam itu adalah PERBUATAN IBLIS!

Jika Petrus yang mengenal Yesus secara pribadi bahkan jadi salah satu dari tiga murid terdekat Yesus TAK BISA TAHU APA YANG ALLAH PIKIRKAN, apalagi mereka yang bukan apa-apa dibanding SANTO PETRUS,

Menurut hemat saya, jangankan merasa mampu mengetahui pikiran Allah, bahkan sekedar meyakini bahwa Allah BERPIKIR saja hakekatnya sama dengan merendahkan martabat Allah Tuhan Yang Maha Tahu, Maha Kuasa dan Maha Menentukan!